Skip to main content

Pengertian, Rukun dan Syarat Perkawinan

         1.      Pengertian Perkawinan

Istilah nikah berasal dari bahasa arab, yaitu (النكاح), adapula yang mengakatan perkawinan menurut istilah fiqh yang dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj[1]. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja[2].

Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut[3].

Perkawinan adalah sebuah ungkapan tentang akad yang sangan jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat[4]. .

Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal tersebut telah dilukiskan dalam firman Allah QS Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

2.      Rukun Perkawinan

a.       Wali

Berdasarkan sabda Rasulullah “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. . .batal. . .batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)

b.      Saksi

Berdasarkan sabda Rasulullah “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni)

c.       Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya, “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya, “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kita Riyadhus Shalihin.”

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:

1)      Adanya suka sama dari kedua calon mempelai.

2)      Adanya ijab qabul.

3)      Adanya mahar.

4)      Adanya wali.

5)      Adanya saksi-saksi.

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1)      Kedua belah pihak sudah tamyiz.

2)  Ijab qabulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul.

    Di dalam ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

d.      Mahar (mas kawin)

Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak miliki istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah maar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar.

3.      Syarat Perkawinan

a.       Beragama Islam

Pernikahan yang didasarkan pada syariat Islam, maka haruslah mempelai laki-laki dan perempuan beragama Islam. Tidak akan sah pernikahan tersebut jika seorang muslim menikahi non muslim dengan menggunakan tata cara ijab qabul secara Islam.

b.      Bukan laki-laki mahram bagi calon istri

Pernikahan merupakan bersatunya sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai ikatan darah. Diharamkan bagi pernikahan jika mempelai perempuan merupakan mahram mempelai laki-laki dari pihak ayah. Oleh karena itu mengecek riwayat keluarga juga diperlukan sebelum terjadinya pernikahan.

c.       Mengetahui wali akad nikah

Penentuan wali pun juga penting untuk dilakukan sebelum menikah. Bagi seorang laki-laki, mengetahui asal-usul seorang perempuan juga diperlukan. Apabila ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam, terdapat wali hakim yang bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan.

d.      Tidak sedang melaksanakan haji

Ibadah haji merupakan ibadah yang segala sesuatunya dilipat gandakan. Akan tetapi saat seseorang melakukan ibadah haji tidak diperkenankan untuk melakukan pernikahan.

e.       Tidak dikarenakan paksaan

Saat pernikahan terjadi, tidak ada paksaan dari pihak manapun. Oleh karena itu pernikahan harus didasarkan pada inisiatif dan keikhlasan kedua mempelai untuk hidup bersama. Jika dahulu perikahan terjadi karena dorongan pihak perempuan, sekorang pernikahan merupakan pilihan dari kedua mempelai untuk memulai hidup bersama.



[1] Kamal Mukhtar. 1974. Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.Hal.79

[2] Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.62

[3] Abdurrahman al-Jaziri. 1986. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr. Hal.212

[4] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. Tanpa Tahun. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga. Juz 2. Hal.36


Comments

Popular posts from this blog

MORALITAS ILMU PENGETAHUAN DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN

Istilah moral berasal dari bahasa Latin,  mos (jamaknya  mores) , yang berarti adab atau cara hidup. Etika dan moral sama maknanya, tetapi dalam pemakaiannya sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. [1] Menurut Imamnuel kant moralitas (Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang di pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai apabila mentaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan menyadari sendiri bahwa hukum itu merupakan kewajiban. Baca Juga:  ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM Immanuel kant Tokoh Filsafat Etika dan Metafisia Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup penger

TUJUAN PEMBELAJARAN KOGNITIF

Apabila kita berbicara tentang kognitif maka kita akan merujuk pada berpikir dalam berbagai bentuk ranah berpikir. pemikiran ini bisa berbentuk sesederhana mengingat perkalian angka satu atau sekompleks memecahkan masalah rumit dalam Aljabar. Istilah ranah berpikir Kognitif adalah ranah pembelajaran yang berfokus pada pengetahuan dan keahlian intelektual seseorang. BACA JUGA  INDIKATOR BERPIKIR KRITIS Ranah Kognitif adalah ranah pembelajaran inti yang di ajarkan disekolah dan setidaknya  sejumlah komponen Kognitif hadir dalam ranah pembelajaran lainnya. adapun ranah-ranah berpikir lain yang menunjang dalam proses pembelajaran yang tidak dapat diabaikan itu adalah sebagai berikut: Ranah Afektif Ranah afektif merupakan ranah yang terkait  dengan sikap motivasi kesediaan dalam berpartisipasi menghargai apa yang sedang di ajari menghayati nilai-nilai pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari Motivasi belajar merupakan penunjang ranah Kognitif siswa Setiap guru pasti

TANGGUNG JAWAB ILMUWAN

Kemajuan dalam bidang berbagai ilmu membawa manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia. Di samping manfaat positif, muncul pula penyalahgunaan kemajuan ilmu sehingga menimbulkan malapetaka. Perang Dunia I yang menghadirkan bom biologis dan perang Dunia II memunculkan bom atom yang merupakan dampak negatif penyalahgunaan ilmu dan teknologi. Battle of Berlin antara Bulan April-Mei 1945 Setelah ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan akan kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat yang akan membawanya pada persoalan etika keilmuan sehingga harus “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab, akademis dan tanggung jawab moral. Dengan kemampuan pengetahuan, seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masala