Istilah moral berasal dari bahasa Latin, mos(jamaknya mores), yang berarti adab atau cara hidup. Etika dan moral sama maknanya, tetapi dalam pemakaiannya sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.[1]
Menurut Imamnuel kant moralitas (Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian
sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang di pandang
sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai apabila mentaati hukum lahiriah
bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau lantaran takut
pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan menyadari sendiri bahwa hukum itu
merupakan kewajiban.
Immanuel kant Tokoh Filsafat Etika dan Metafisia |
Moralitas adalah
kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar
atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang
baik-buruknya perbuatan manusia. Kata amoral, nonmoral tidak mempunyai hubungan
dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral
buruk (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif dan subjektif. Moralitas
objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah
dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh suka rela pihak pelaku. Lepas dari segala
keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan
diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan
dengan suka rela menghendaki perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah
moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian
dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan
oleh latar belakangnya, pendidikannya, kemantapan emosinya dan sifat-sifat
pribadi lainnya.[2]
Ilmu merupakan hasil
karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat. [3]. Pada tingkat awal, ilmu
pengetahuan “ diselimuti” oleh unsur-unsur magis. Dalam mencari kebenaran,
manusia masih belum bisa membedakan antara fakta dan kepercayaan keduanya
tercampur aduk. Belum ada batasan-batasan yang yang digunakan untuk menentukan
mana kebenaran yang berdasarkan fakta, dan mana pula kebenaran yang didasarkan
atas kepercayaan. Tak jarang, kebenaran yang didasarkan atas kepercayaan ini
diangkat ke dunia atas dihubungkan dengan nilai-nilai mitologis. Mitos adalah
kisah kuno yang berisi lambang-lambang, mau makna sengsara dan kematiannya, dan
juga arti perayaan-perayaan dan upacara adat.
Lambang dan Mitos dari kepercayaan Mesir Kuno |
Menurut Nurcholish
Madjid, bahwa ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah
netral. Artinya tidak mengandung nilai kebaikan dan kejahatan pada dirinya
sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki atau menguasainya.
Ilmu pengetahuan dan
sains adalah “explanation of facts”(Conny R. Semiawan:45). Sekarang
teori-teori ilmiah hanya dinilai sebagai “a summary of statictical averages”
atau ikhtisar dari pukul rata statistik( M Quraish Shihab,1992:45). Di
sini, lagi-lagi terlihat hubungan antara ontologi (objek) dan epistemologi
(proses). Objek telaah ilmu pengetahuan adalah alam ciptaan Tuhan, sedangkan
proses memperolehnya adalah dengan observasi terhadap hukum-hukum alam ciptaan
Tuhan tersebut. Hukum alam ini melukiskan bagaimana alam bertingkah dalam
kondisi tertentu. [4]
Pengembangan ilmu yang
tidak disertai moral akan menghancurkan kehidupan umat manusia. Dalam Soetriono
dan Hanafie(2007:129) menyebutkan bahwa terdapat dua kelompok sikap mengenai
hubungan antara ilmu dengan moral. Pertama, kelompok yang masih tetap
menghendaki agar ilmu bebas nilai dengan istilah netral terhadap nilai. Mereka
hanya berurusan dengan penemuan ilmuwan saja, sedangkan penggunaannya terserah pada
yang akan menggunakannya, apakah untuk tujuan yang baik atau tujuan yang buruk.
Kedua, kelompok yang melihat pengalaman penggunaan ilmu yang merusak kehidupan
umat manusia, maka aplikasi dari ilmu harus memerhatikan asas moral.
Tanggung jawab moral menyangkut
pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang
dikembangkannya. Di mana ilmu harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar,
bukan untuk merusak umat manusia.[5]
Baca Juga: Tanggung Jawab Ilmuwan
[1] Susanto, “ Filsafat Ilmu”, (Jakarta : PT Bumi Aksara), h.193
[2] Poespoprodjo, “Filsafat Moral”, (Jawa Barat : CV Pustaka Grafika), h.
118
[3] Jujun S. Suriasumantri, “ Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer”,(Jakarta : Penebar Swadaya), h.237
[4] Jalaluddin,” Filsafat Ilmu Pengetahuan”, (Jakarta : Rajawali Pers), h.216
[5] Susanto, “ Filsafat Ilmu”, (Jakarta : PT Bumi Aksara), h.198
Comments
Post a Comment