Skip to main content

ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Latar Belakang

Ilmu mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan. kebanyakan  orang tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan. Orang sering menyamakan antara ilmu dengan pengetahuan. Dari sejumlah pengertian yang ada, sering ditemukan kerancuan antara pengertian pengetahuan dan ilmu. Kedua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan ilmu dan pengetahuan dirangkum menjadi kata majemuk yang mengandung arti tersendiri.

 Bila kita mempelajari bidang ilmu berarti kita  mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu. Demikian pula jika membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk memahami hakekat ilmu dan hakekat pengetahuan terlebih dahulu kita harus memahami Filsafat Ilmu. Dengan mempelajari filsafat ilmu akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara lebih disiplin.


Pengetahuan semakin hari semakin berkembang, berkembangnya pengetahuan adalah karena adanya rasa ingin tahu, yang merupakan cirri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan adalah untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidup. Dia memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukanlah sekedar untuk kelangsungan  hidup, namun lebih dari itu.Dari fungsi ilmu pengetahuan yang sangat berperan dalam kehidupan, terpikir oleh kita bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Sumber pengetahuan diperoleh dari beberapa cara mulai dari pengamatan indera, pemahaman akal akan wahyu dan penerapan oleh hati yang mampu menjadikan seseorang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi.

Untuk bisa memahami perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan inilah penulis membuat artikel. Sehingga setelah membaca artikel ini pembaca bisa memahami perbedaan antara defenisi ilmu dengan pengetahuan. Serta sumber-sumber pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan serta bagaimana usaha penanaman dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan.

 

Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Secara etimologi, ilmu berasal dari bahasa Arab: ’alima, ya’lamu,’ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu,yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. Sedangkan secara terminologi, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan.[1]

Menurut Mohammad hatta, ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunanya dari dalam.[2]

Sedangkan menurut Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.[3]

Selain itu menurut Karl Pearson mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.[4]

Selanjutnya menurut Ashley Montagu, Guru besar Antropolog di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.[5]

Guru besar antropolog di Universitas Pajajaran, Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan beliau juga mendefenisikan imu sebagai suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera, serta beliau juga mendefenisikan ilmu sebagai suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu propsisi dalam bentuk:”jika…, maka…”.[6]

Selanjutnya Afanasyef, seorang pemikir bangsa Rusia mendefenisikan ilmu sebagai pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran.[7]

Dari defenisi-defenisi yang telah dipaparkan oleh para ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara empiris, rasional, umum dan sistematik yang diperoleh dari pengamatan, studi, dan melalui suatu percobaan.

Salah satu ciri-ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu bentuk aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia. Ilmu tidak hanya merupakan aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian merupakan suatu proses.  Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuan-tujuan tertentu. Aktivitas intelektual berarti kegiatan yang memerlukan kemampuan berpikir untuk melakukan penalaran logis atas hasil-hasil pengalaman empiris. Ilmu pengetahuan dikembangkan pada dasarnya memang untuk mencapai kebenaran atau memperoleh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar akan membawa manusia memperoleh pemahaman yang benar mengenai alam semesta, dunia sekelilingnya serta masyarakat lingkungannya, dan bahkan untuk lebih memahami diri sendiri.

Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar, ada beberapa ciri-ciri utama ilmu antara lain: ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang ghaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.

Ciri-ciri selanjutnya yaitu, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu.

Ciri-ciri ilmu selanjutnya adalah ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.

Ciri-ciri ilmu berikutnya adalah konsep ilmu pengetahuan adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu.

Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting adalah terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.  

            Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Phisolophy dijelaskan bahwa defenisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar. Sedangkan secara terminologi defenisis pengetahuan akan dikemukakan oleh beberapa para ahli.[8]

            Menurut Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar,insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.[9]

            Sedangkan dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[10]

            Dari defenisi-defenisi yang telah dipaparkan oleh para ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil proses dari usaha manusia untuk tahu berupa kebenaran dan pengalaman sadar.

            Manusia dalam hal mendapatkan pengetahuan yang benar, tidak dengan secara serta-merta. Hal ini justru disebabkan karena keterbatasan kemampuan manusia itu sendiri. Proses dalam memperoleh pengetahuan dapat digambarkan seperti:

“Pada mulanya, manusia berada dalam kondisi tidak tahu apa-apa. Ketika manuisa itu masih dalam keadaan bayi atau kanak-kanak, seolah hanya bisa percaya dan menerima apa saja segala kesaksian orang tua sebagai kebenaran. Selanjutnya setelah potensi psikis berkembang pada titik kesadaran tertentu, barulah manusia berada didalam keadaan kagum dan heran. Dengan perasaan kagum dan heran ini, manusia mulai meragukan adanya sesuatu hal meskipun telah diakui secara umum sebagai kebenaran, apalagi jika merupakan kesalahan. Jika dari sikap keraguan mulai ada sesuatu yang lebih dapat dipercaya, muncullah sikap perkiraan. Jika perkiraan bisa lolos daru ujian, muncullah pendapat. Selanjutnya, jika pendapat telah teruji berulang kali, lahirlah kebenaran. Kemudian jika kebenaran itu telah teruji secara terus-menerus lahirlah kepastian. Pada akhirnya, kepastian menjadi sebuah keyakinan, jika secara mutlak telah teruji kebenarannya. Kebenaran inilah yang disebut pengetahuan.”

            Hakekat ilmu pengetahuan dalam islam yaitu, ilmu pengetahuan bukan hanya diperoleh dengan perantaraan akal dan indera yang bersifat empiris saja, tetapi pengetahuan juga bersifat immateri yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah sebagai khaliq (pencipta) pengetahuan tersebut. Berdasarkan Al-Qur’an dijelaskan dalam firman Allah surat Ali ‘Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ(7)

Artinya:”Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata,” kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami”. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal”.[Q.S Ali Imran 3:7][11]

            Hakekat ilmu pengetahuan dari ayat diatas menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berilmulah yang akan mengambil atau menggali berbagai pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Orang-orang yang berilmu merupakan orang yang berakal yang selalu berusaha untuk mencari berbagai pengetahuan dan selalu mengambil pelajaran dari hikmah-hikmah yang Allah berikan. Orang yang berilmu akan selalu beriman kepada kitab suci al-Qur’an, karena mereka mengetahui bahwa didalam kitab Allah terdapat banyak pelajaran yang selalu mengingatkannya kepada kekuasaan dan keagungan Allah.  

            Dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 122 juga terkandung hakekat ilmu pengetahuan.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْوَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ(122)

Artinya:”Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali,agar mereka dapat menjaga dirinya”.[Q.S At-Taubah 9:122][12]

Hakekat ilmu pengetahuan dari ayat diatas menegaskan kepada orang-orang mukmin untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Orang mukmin dituntut untuk menuntut ilmu mulai dari kecil hingga harus pergi ke negara jiran. Orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan terjauh dirinya dari kebodohan dan akan terbebas dari kemiskinan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan disertai oleh agama, maka akan terjaga dirinya dari kemudaratan yang akan menjerumuskan dirinya kepada kesengsaraan.       

Sedangkan menurut Ahmad Bkhtiar, ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan itu, yaitu Teori Realisme dan Teori Idealisme.

Pertama, Teori Realisme, pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopian yang sebenarnya  dari apa yang ada dalam alam nyata. Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopian dari yang asli yang ada diluar akal. Dengan demikian, realism berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.

Kedua, teori idealisme, ajaran idealism menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Sehingga, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.

Pengetahuan yang ada pada setiap manusia  diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan. Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa pengetahuan bersumberkan pada empat hal.

 Pertama empirisme, menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman inderawi. Pengetahuan inderawi bersifat parsial, karena adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya. Masing-masing indera akan menangkap aspek yang berbeda mengenai suatu objek yang diamati. Seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai. Pernyataan ini didukung oleh teori tabula jasa yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704), menyatakan bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga ia memiliki penggetahuan. Awalnya tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan akan menjadi kompleks, lalu tersusunlah sebuah pengetahuan. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang bener.

Seorang tokoh empirisme, David Hume mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Tetapi pengetahuan diperoleh dari pengamatan. Kaum empiris menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan. Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.[13]

            Kedua rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal atau rasio. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Aliran ini mengakui bahwa indera memiliki kegunaan dalam memperoleh akal. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada ke benaran adalah semata-mata karena akal. Laporan indera merupakan bahan yang belum jelas, sehingga memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi fungsi panca indera hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain. Dari penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsesus yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun teori ini mengalami kesulitan, karena data-data yang ada di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam terlalu besar. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna, karena data-data yang dikumpulkan tidak sempurna.

            Dari kesulitan inilah menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivism oleh August Comte dan Imanuel Kant. Mereka berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.[14]

            Ketiga intuisi, menurut Henry Bergson mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi pada dasarnya bersfiat analisis, menyeluruh, mutlak dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan  secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pertanyaan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.

            Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam Islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat atau Tasawuf. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Pengetahuan tingkat tinggi tersebut diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. Menurut ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menangkap objek-objek ghaib. Didalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam ghaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.[15]

            Keempat wahyu, wahyu adalah pengetahuan yang disampikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal ghaib. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.[16]

Sedangkan sumber pengetahuan menurut Asma Hasan Fahmi, terdapat perbedaan antara pandangan filosof dan ilmuwan muslim. Menurut pandangan filosof dan ilmuwan muslim, sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu yang termanifestasikan dalam al-Qur’an dan As-Sunnah, selain sumber empiris dan rasionalis. Sedangkan menurut filosof dan ilmuwan barat, sumber ilmu pengetahuan hanya dibatasi pada dua sumber utama yaitu pengetahuan yang lahir dari pertimbangan rasio dan pengetahuan yang dihasilkan melalui pengalaman.[17]

Dari berbagai macam perolehan sumber pengetahuan dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan bisa dengan melakukan pengamatan dengan bantuan inderawi. Kemudian hasil pengamatan dari alat inderawa inilah yang akan dipertimbangkan oleh akal, apakah itu sebuah pengetahuan yang benar atau salah. Selain dari pengamatan, untuk memperoleh pengetahuan juga bisa melalui eksperimen-eksperimen. Dari eksperimen ini akan lahir sebuah pengetahuan yang bersifat ilmiah yang bisa diterima oleh semua pihak. Sumber pengetahuan yang paling tinggi adalah wahyu Allah. Dengan wahyu Allah manusia bisa memperoleh pengetahuan melalui hati yang bisa mencapai hal-hal yang ghaib.

Pengetahuan adalah sebuah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh manusia ada empat jenis, yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.

Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Dengan common sense, semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari seperti air dapat diapaki untuk menyiram bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah tadah hujan, dan sebagainya.[18]

Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat subjektif, karena dimulai dari fakta.

Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, sedangkan filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.[19]

Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan tuhan dan cara berhubungan dengan sesama manusia. Pengetahuan agama yang lebih penting disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang Hari Akhir. Iman kepada hari akhir merupakan ajaran pokok agama dan sekaligus merupakan ajaran yang membuat manusia optimis akan masa depannya. Menurut para pengamat, agama masih bertahan sampai sekarang karena adanya doktrin tentang hidup setelah mati karena itu agama ,asih dibutuhkan.[20]

Sedangkan menurut Sudarsono, jenis pengetahuan ada tiga macama yaitu, pengetahuan inderawi, pengetahuan Rasioanal dan pengetahuan Israqi.

Pertama, pengetahuan inderawi, pengetahuan inderawi terjadi ketika orang mengamati terhadap sesuatu objek material dan dalam proses yang tanpa tenggang waktu dan tanpa upaya berpindah keimajinasi kemudian ketempat penampungannya yang disebut Hafizah. Pengetahuan dengan jalan ini selalu berubah, selalu dalam keadaan menjadi, bergerak, berlebih kurang kuantitasnya dan berubah-rubah kualitasnya.

Kedua, pengetahuan Rasional, pengetahuan tentang sesuatu yang didapat dan diperoleh dengan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, bersifat immaterial. Objeknya bukan individu, tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai sesuatu yang memiliki materi (bertangan, berkaki, berjakun,dsb). Dan orang tersebut mengamati manusia dengan akal pikirannya menyelidiki hingga memperoleh suatu konklusi yaitu manusia adalah makhluk yang berpikir.

Ketiga, pengetahuan israqi, pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancara nur Illahi. Pengetahuan ini diperoleh oleh para nabi dengan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, terjadi karena kehendak Allah semata-mata, dengan jalannya itu Allah membersihkan jiwa mereka dan mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima kebenaran-Nya. Pengetahuan ini khusus diturunkan oleh Allah kepada para nabi yang dipilihnya.[21]

Berdasarkan objek materinya, ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan ketuhanan.

Pertama, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan alam mempelajari gejala-gejala (fenmena-fenomena) alam, baik yang organik (badan benda hidup) maupun yang an-organik (badan benda mati). Yang pertama melahirkan ilmu hayat atau biological sciences yang meliputi zoology, botani, mikro-biologi, bio-kimia dan bio-fisika. Sedangkan yang kedua melahirkan ilmu alam atau physical sciences yang meliputi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi.[22]

Kedua, ilmu pengetahuan kemanusiaan, mempelajari masalah manusia dan kebudayaan. Oleh sebab itu, ilmu pengetahun ini berintikan tentang masalah nilai-nilai manusiawi. Hal ini berarti bahwa cakupan ilmu pengetahuan meliputi segala sikap dan tingkah laku moral manusia baik terhadap diri sendiri, sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, maupun terhadap causa prima-nya. Dengan ilmu pengetahuan ini diharapkan adanya perkembangan sikap dan watak kebudayaan yang mampu menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan sebagai titik sentral ilmu pengetahuan jenis apapun. Adapun yang tercakup di dalamnya meliputi antropologi, ilmu kebudayaan, psikologi, sejarah, filsafat, ilmu bahasa dan sebagainya.[23]

Ketiga, ilmu pengetahuan sosial, jenis ilmu pengetahuan ini menitik beratkan pada objek kajian tentang kehidupan manusia dalam berbagai perwujudan  dan keadaan serta kepentingan sosial manusia. Didalam dirinya sendiri, ilmu pengetahuan ini terbentuk dari antropologi, sosiologi dan psikologi. Ketiga komponen ini menjadi basis perkembangan ilmu pengetahuan sosial lainnya seperti, politik, hukum, ekonomi, administrasi dan lain sebagainya.

Keempat, ilmu pengetahuan ketuhanan, sering disebut ilmu pengetahuan keagamaan, mempelajari Tuhan, keberadaan dunia, kehidupan manusia, dan alam semesta menurut ajaran-ajaran agama. [24]

  Dapat kita lihat keempat klasifikasi ilmu pengetahuan itu masing-masing berada di dalam substansi sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda-beda. Ilmu pengetahuan alam misalnya, karena objek materinya berupa hal-hal yang konkret, artinya yang berada di dalam ruang dan waktu tertentu, berbentuk , berbobot, dapat diindra, dapat diukur secara pasti, sehingga ilmu pengetahuan ini cenderung bersifat kuantitatif. Sedangkan ilmu pengetahuan ketuhanan cenderung bersifat kualitatif. Sedangkan ilmu pengetahuan sosial lebih cenderung berada diantara kedua ilmu pengetahuan alam dan ketuhanan, karena memang ada objeknya yang bersifat fisik konkret dan yang spiritual abstrak.

Ada enam langkah metode untuk memperoleh pengetahuan melalui cara kerja ilmiah yaitu, kesadaran akan adanya problema, pengumpulan data, penertiban data, pembentukan hipotesis, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Langkah pertama, kesadaran akan adanya problema, langkah awal ini adalah hal yang sangat penting. Karena suatu pemikiran dan penyelidikan itu diawali oleh sebuah rumusan masalah. Pada langkah ini dituntut agar kemampuan bisa melukiskan problema secara jelas dan benar. Karena hanya dengan demikian pula pengumpulan data yang factual baru bisa terlaksana.

Langkah kedua, pengumpulan data yang relevan, juga memerlukan kesabaran dan lebih-lebih kemampuan untuk menguji data-data apakah factual atau tidak. Pada persoalan yang sulit, untuk mendapatkan data-data, memerlukan pemikiran dan penyelidikan yang seksama dan tidak aneh jika memerlukan waktu bertahun-tahun.

Langkah ketiga, masalah penertiban data. Diperlukan kemampuan analisis dan pengelompkkan. Bagi metode ilmiah, memperbandingkan dan mempertentangkan data yang satu dengan yang lain untuk diatur dalam urutan yang sesuai dengan kepentingan adalah pokok. Jadi, setiap data harus diberi nomor, dianalisis, dan diklasifikasikan.

Langkah keempat, pembentukkan hipotesis. Hipotesis dapat dibentuk setelah diperoleh data-data yang cukup. Dalam membentuk hipotesis, hal yang penting adalah harus bersifat masuk akal. Artinya, suatu deduksi harus dapat dicoba dan berfungsi sebagai petunjuk bagi penyelidikan selanjutnya.

Langkah kelima, penarikan deduksi atau kesimpulan dari hipotesis. Maksudnya, hipotesis menjadi dasar penarikan deduksi atau kesimpulan mengenai jenis susunan dan hubungan antara hal-hal atau benda-benda tertentu yang sedang diselidiki.

Langkah terakhir. Masalah pengujian kebenaran dalam ilmu pengetahuan, keputusan akhirnya terletak pada fakta. Jika fakta tidak mendukung suatu hipotesis, maka hipotesis lain dipilih. Demikian selanjutnya, kecuali fakta, kaidah umum atau hukum tersebut telah memenuhi persyaratan pengujian empiris.

Langkah diatas dapat dipakai untuk bidang apa saja, tetapi hanya terbatas mengenai pengalaman manusia. Jadi metode ilmiah, memiliki keterbatasan yaitu pada hal-hal yang empirik (dapat dialami secara inderawi), karena itu hanya berlaku pada bidang-bidang yang fisis dan kuantitatif saja.

Seorang tokoh pendidikan  (Ibnu khaldun) telah melakukan usaha dalam menanamkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun untuk mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Usaha yang dilakukan Ibnu adalah pertama-tama pelajar harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya. Keterangan–keterangan yang diberikan harus secara umum, dengan memperhatikan kekuatan pikiran pelajar dan kesanggupanya memahami apa yang diberikan kepadanya. Apabila pembahasan pokok telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Jika pembahasan yang pokok itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulangi kembali hingga dikuasai dengan benar.

Dalam hubungannya dengan mengajarkan ilmu kepada anak didik, Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik dengan metode yang baik dan mengetahui paedah yang dipergunakan dan seterusnya. Ibnu Khaldun lebih lanjut mengemukakan kesulitan yang dihadapi para pelajar yang didasarkan pada penglihatannya yang tajam terhadap para pelajar yang dijumpainya. Kesalahan tersebut disebabkan karena para pendidik tidak menguasai ilmu jiwa anak. Seseorang yang diajarkan dengan cara kasar, keras dan cacian, akan mengakibatkan gangguan jiwa pada sianak.

Ibnu Khaldun juga menganjurkan agar pendidik bersifat sopan dan halus pada muridnya, hal ini termasuk juga sikap orang tua sebagai pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak , maka pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali.[25]

 Lain halnya dengan al-Ghazali, al-Ghazali menyatakan bahwa dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, seorang pendidik hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, semua metode pendidikan yang memiliki relevansi terhadap upaya pendidikan hendaknya dapat dipergunakan pendidik dalam proses belajar mengajar. Penggunaan setiap metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia, peserta didik, kecerdasan, bakat dan fitrahnya.[26]


Kesimpulan

            Dari berbagai defenisi tentang ilmu dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang melalui pelaksanaannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman tentang alam yang senantiasa lebih cermat dan lebih meningkat, pada suatu kemampuan yang meningkatkan untuk menyesuaikan diri sendiri terhadapnya dan mengubah lingkungannya. Dalam arti sempit ilmu dapat diartikan sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang merupakan hasil berpikir manusia.


            Sedangkan defenisi pengetahuan dapat disimpulkan sebagai hal-hal yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Jadi pengetahuan adalah sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia yang dimulai dari dorongan ingin tahu yang bersumber dari kehendak atau kemauan.

            Perbedaan pengetahuan dengan ilmu dapat dilihat dari segi defenisi. Kalau pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah tersusun secara rapi, sistematis.

Pengetahuan adalah kebenaran, sehingga di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Manusia memiliki empat jenis pengetahuan yaitu, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat dan pengetahuan agama.

Beberapa usaha yang dilakukan oleh beberapa para tokoh pendidikan dalam menanamkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam pendidikan yaitu, pelajar harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya. Keterangan–keterangan yang diberikan harus secara umum, dengan memperhatikan kekuatan pikiran pelajar dan kesanggupanya memahami apa yang diberikan kepadanya. Apabila pembahasan pokok telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Jika pembahasan yang pokok itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulangi kembali hingga dikuasai dengan benar.

Selain itu juga ada usaha yang dilakukan oleh para pemikir pendidikan yaitu, dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, seorang pendidik hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Al-Qur’an

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Fahmi, Asma Hasan. Sejarah Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Bulan Bintang

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Gaya Media Pratama,2005.

Nizar, Samsul.Pendekatan historis, teoritis dan praktis. Jakarta:Ciputat Pers.2002

Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer . Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama,1990.

Sudarsono.Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Suhartono, Suparlan.Filsafat Ilmu pengetahuan. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2005.

 


[1] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).hlm. 12

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid., hlm.15

[6] Ibid.

[7] Ibid.,hlm.16

[8] Ibid.

[9] Ibid.,hlm.85

[10] Ibid.,hlm.86

[11] Al-qur’an

[12] Al-qur’an

[13] Amsal Bakhtiar,M.A. Filsafat Ilmu ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007).hlm. 98-102

[14] Ibid,.hlm.102-106

[15] Ibid,.hlm.107-109

[16] Jujun S.suriasumantri. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer ( Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama,1990).hlm.54

[17] Asma Hasan Fahmi. Sejarah Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:Bulan Bintang).hlm.106

[18] Amsal Bakhtiar,M.A. Filsafat Ilmu ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007).hlm.86-87

[19] Ibid.

[20] Ibid,.hlm 87-89

[21] Sudarsono.Filsafat Islam,(Jakarta:Rineka Cipta, 1997),hlm. 27-28

[22] Suparlan Suharton.Filsafat Ilmu pengetahuan.(Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2005).hlm.113

[23] Ibid.

[24] Ibid,.hlm.113-114

[25] Dr.H.Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Gaya Media Pratama,2005).hlm. 226-227

[26] Samsul Nizar.Pendekatan historis, teoritis dan praktis,(Jakarta:Ciputat Pers.2002)hlm. 90-91


Comments

Popular posts from this blog

MORALITAS ILMU PENGETAHUAN DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN

Istilah moral berasal dari bahasa Latin,  mos (jamaknya  mores) , yang berarti adab atau cara hidup. Etika dan moral sama maknanya, tetapi dalam pemakaiannya sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. [1] Menurut Imamnuel kant moralitas (Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang di pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai apabila mentaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan menyadari sendiri bahwa hukum itu merupakan kewajiban. Baca Juga:  ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM Immanuel kant Tokoh Filsafat Etika dan Metafisia Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup penger

TUJUAN PEMBELAJARAN KOGNITIF

Apabila kita berbicara tentang kognitif maka kita akan merujuk pada berpikir dalam berbagai bentuk ranah berpikir. pemikiran ini bisa berbentuk sesederhana mengingat perkalian angka satu atau sekompleks memecahkan masalah rumit dalam Aljabar. Istilah ranah berpikir Kognitif adalah ranah pembelajaran yang berfokus pada pengetahuan dan keahlian intelektual seseorang. BACA JUGA  INDIKATOR BERPIKIR KRITIS Ranah Kognitif adalah ranah pembelajaran inti yang di ajarkan disekolah dan setidaknya  sejumlah komponen Kognitif hadir dalam ranah pembelajaran lainnya. adapun ranah-ranah berpikir lain yang menunjang dalam proses pembelajaran yang tidak dapat diabaikan itu adalah sebagai berikut: Ranah Afektif Ranah afektif merupakan ranah yang terkait  dengan sikap motivasi kesediaan dalam berpartisipasi menghargai apa yang sedang di ajari menghayati nilai-nilai pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari Motivasi belajar merupakan penunjang ranah Kognitif siswa Setiap guru pasti

TANGGUNG JAWAB ILMUWAN

Kemajuan dalam bidang berbagai ilmu membawa manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia. Di samping manfaat positif, muncul pula penyalahgunaan kemajuan ilmu sehingga menimbulkan malapetaka. Perang Dunia I yang menghadirkan bom biologis dan perang Dunia II memunculkan bom atom yang merupakan dampak negatif penyalahgunaan ilmu dan teknologi. Battle of Berlin antara Bulan April-Mei 1945 Setelah ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan akan kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat yang akan membawanya pada persoalan etika keilmuan sehingga harus “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab, akademis dan tanggung jawab moral. Dengan kemampuan pengetahuan, seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masala